Koridor : Pencerahan Mentalitas Moral dan Budaya Kerja.
PERLU
MEMBANGUN WAWASAN BARU
DALAM BIDANG PEMBINAAN SDM
Penulis : Widjaja Kartadiredja
(Penulis e-book Kinerja di sebuah
Website, tinggal di Kota Cimahi, Jawa Barat).
Latar belakang Pemikiran.
Dua potensi manusia yang diyakini
sebagai prayarat paling mendasar untuk tegaknya suatu peradaban, adalah masalah
“mentalitas moral” dan “budaya kerja”. Kedua potensi ini dapat menentukan baik
buruknya peradaban dan jadi pertanda untuk mengukur baik-buruknya kemajuan
suatu bangsa.
Dalam agama manapun diajarkan, bahwa
kedua potensi tersebut harus dibangun
dalam diri manusia, agar menjadi manusia yang
berahlak dan beramal sholeh. Karenanya jika kedua potensi ini tidak
mendapatkan pembinaan yang baik secara normatf, tidak mustahil akan lahir
generasi bangsa yang tidak berperadaban.
Kalau kita cermati kondisi bangsa
sejak Indonesia merdeka yang telah berjalan hampir 70 tahun, dipandang dari segi
mentalitas moral dapat kita asumsikan bahwa karakter bangsa nyaris tidak mengalami
perubahan dan bahkan bertendensi semakin bertambah rentan terhadap pengaruh-pengaruh
luar yang dapat merusak dan memporak-porandakan ketahanan moral. Begitu halnya dengan budaya kerja, tidak
salah, dan dapat dimaklumi kalau kita
katakan bangsa kita terkesan jadi bangsa yang malas, tidak produktif, dan
rendah kinerja.
Permasalahan yang sangat krusial ini
harus benar-benar “jadi bahan koreksi dan mawas diri” bagi semua kalangan.
Fenomena terkait Karakter Bangsa.
Untuk memberikan gambaran kondisi
bangsa terkait mentalitas moral dan budaya kerja, perlu dilihat dampak negatifnya lebih jauh, untuk
dijadikan bahan kajian dalam mencarikan solusi yang tepat untuk memperbaikinya.
Dibawah ini lebih jauh dijelaskan sebagai berikut:
Pertama,
dampak buruk yang diyakini sebagai akibat dari kelemahan mentalitas moral
adalah : 1) makin meraja-lelanya kejahatan korupsi yang
membuat rakyat bertambah miskin; 2) mewabahnya barang haram yang mengancam
kerusakan moral generasi muda dan masa depan bangsa, yaitu narkoba yang kini pemerintah sudah
menetapkan Indonesia dalam tingkat “darurat narkoba”, namun belum ada gebrakan dari
tindakan represif yang membuat para penjahat narkona berhenti beroperasi, bisa
jadi karena rendahnya hukuman yang diberikan pada pelaku; 3) merebaknya
prostitusi dan kejahatan seksual yang masih dalam “pembiaran” dan masih
dijadikan ajang polemik, padahal perbuatan tersebut jelas-jelas perbuatan haram
yang dimurkai Allah; dan 4) nafsu hedonistis dan senang hidup berlebih-lebihan di tengah kehidupan rakyat yang tengah didera
kemiskinan, dan tidak bermawas diri dalam kondisi bangsa yang penuh
keprihatinan.
Kedua, dampak buruk dari segi kelemahan budaya kerja dapat dilihat
dari indiksasi-indikasi sebagai berikut : 1) makin lunturnya nilai-nilai
pengabdian terutama di kalangan
pegawai/tenaga kerja baik di jajaran pemerintahan ataupun perusahaan; 2)
rendahnya nilai kinerja dan kurang tertarik pada upaya-upaya perbaikan
sistem; 3) kerja asal-asalan dan cari
gampangnya; dan 4) meremehkan tanggung jawab.
Hal yang juga harus jadi bahan mawas
diri bagi semua kalangan, adalah bahwa bangsa ini membutuhkan nilai-nilai keteladanan dari para pejabat nepara dan pemegang
kekuasaan, baik dari kalangan elit politik, pejabat lembaga negara, dan para
pimpinan pemerintahan di pusat dan di daerah. Kata kunci untuk mengembalikan
kepercayaan dan menanamkan kepengikutan dalam kepemimpinan, yang terkadang bisa
lunturnya kepercayaan rakyat, adalah “ada
atau tidaknya nilai-nilai keteladanan” pada diri seorang sosok atau pejabat negara yang seharusnya jadi
panutan.
Sebab utama porak-porandanya mentalitas
moral dan budaya kerja.
Sebab utama porak-porandanya
mentalitas moral, diprediksi kuat karena pengaruh faham kapitalistisme dan
neoliberal yang berlandaskan budaya materialistis, yang di balik aktivitasnya
punya misi tertentu yang oleh seorang pakar ekonomi kerakyatan secara simbolis dikatakan
“yang kuat memangsa yang lemah”, dan
dalam kehidupan sosialnya bersifat egoist, mengutamakan kepentingan pribadi,
mengesampingkan kepentingan umum dan mengabaikan nilai-nilai moral. Puncaknya dirasakan di “era globalisasi”
sekarang ini.
Dalam Pidato Bung Karno 1 Juni 1945
dalam Sidang Panitia Persiapan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia untuk menyusun
Konstitusi sebelum hari Proklamasi 17/8/1945, Bung Karno sudah memperingatkan untuk menjauhi faham kapitalisme, dimana
peringatan ini hendaknya dijadikan
catatan penting untuk mendapatkan perhatian.
Deskripsi Wawasan baru dalam bidang
Pembinaan SDM.
Kesimpulan dari pengamatan sektoral tentang
kondisi bangsa, menunjukkan betapa lemah
mentalitas moral dan budaya kerja pada sebagian kalangan bangsa kita, yang
diprediksi kuat penyebabnya adalah akibat pengaruh faham kapitalistisme dan
budaya materialistis. Sangat diharapkan
manusia Indonesia punya daya tangkal untuk memerangi kedua isme tersebut, agar
dijauhkan dari karakter bangsa yang cenderung egoist, abai pada kepentingan umum, korup, dan senang
hidup berlebih-lebihan, disamping malas, tidak produktif, dan minus keteladanan. Fenomena yang diungkapkan dalam tulisan ini dan atau tulisan-tulisan
lain pada dasarnya harus disikapi dengan program pembinaan yang tidak keluar dari
koridor/tema pokok tentang “pencerahan mentalitas moral dan budaya kerja”, yang
tentunya tujuannya akan sejalan dengan tujuan “revolusi mental” yang pernah
dicanangkan oleh Bapak Presiden Jokowi di awal pemerintahannya.
Solusi
yang yang disarankan adalah perlunya membenahi sistem HRM yang tujuannya utuk
merubah perspektif atau pola pandang baru dalam bidang pembinaan SDM yang landasan filosofinya diorientasikan pada
upaya peningkatan kinerja dan perbaikan
etika kerja.
Membangun wawasan baru dalam bidang pembinan SDM, sama halnya dengan
membenahi dan meningkatkan peran sistem HRM jika pernah “termarginalkan” dalam
manajemen pemerintahan khususnya dalam bidang “human resources”, menuju
peningkatan kualitas SDM, yang berbasiskan mentalitas moral dan budaya kerja. Membangun
wawasan baru dalam bidang pembinaan SDM adalah tugas pokok para Manajer HRM di setiap
lembaga/institusi baik di jajaran pemerintahan maupun perusahaan. ∏ Referensi
: Princeples for Implementing a Human Resources
Management Policy, Thomson CSF Cooperation, Perancis.
0 komentar:
Posting Komentar