TENTANG MALAM QODAR DAN HIKMAH RAMADHAN
(Tayangan ulang 29 Ramadhan 1436 Hijriyah)
Penulis :
H.
Widjaja Kartadiredja
Bagi kaum muslimin dan muslimat yang sudah mentradisikan
i’tikaf di masjid pada malam-malam 10 hari terakhir bulan Ramadhan tak urung
konsentrasi perhatiannya pada masalah “malam qodar” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “lailatul
qadar”, yang dalam Alqur’an Surat Al-Qadar
dinyatakan sebagai malam kemuliaan, malam yang lebih baik
dari seribu bulan. Malam qodar itu akan
menjadi kesan paling indah di hati kaum Muslim dan Muslimat dalam perjalanan ibadah di bulan suci Ramadhan, yang
selalu ditunggu dan diburu kedatangannya.
Salah satu isyarat datangnya “malam qodar” menurut keterangan sabda
Rasulullah, diantaranya ialah : “beribadah di malam itu
merasakan lezatnya ibadah, adanya ketenangan hati, dan adanya kenikmatan
bermunajat kepada Allah Rabbul ‘Alamiin”. Tanda lainnya menurut HR Muslim adalah :
“bulan tatkala muncul berukuran saparuh nampan”, dan
banyak lagi tanda-tanda yang musykil lainnya. Tanda-tanda itu seolah-olah menunjukkan bahwa
“substansi malam” punya makna yang spesifik yang diyakini
sebagai saat ijabah doa, yang membawa rahmat menuju jalan keselamatan untuk
kehidupan di dunia dan di akhirat, yang mendatangkan suasana yang penuh kekhusuan untuk
meraih keridhaan Allah bagi
hamba yang dihatinya telah tertanam kuat kadar iman dan taqwa.
Kenapa malam qodar diberi sebutan sebagai “malam yang
lebih baik dari seribu bulan”?. Selain
alasan Asbabun Nuzul, tentunya secara
logika adalah untuk memberi penekanan
makna ibadah dipandang dari sisi
kedalaman pengamalan dan amaliahnya,
yang ditandai dengan adanya waktu-waktu tertentu yang sangat dimuliakan. Dalam hal ini malam qodar adalah waktu
turunnya wahyu yang pertama
(Alqur’an) dari Lauhil Mahfuzh lewat perantaraan Jibril di Gua Hira. Juga
malam qodar itu pun turun saat
Nabi Musa berdialog dengan Tuhan di Bukit Thursina.
Karena itu betapa mulianya malam qodar sebagai
tonggak peringatan terhadap waktu
terjadinya masalah basar yang mengatur tentang kehidupan manusia dan tentang
keyakinan terhadap hal-hal ghaib, sehingga malam qodar dinyatakan sebagai malam
yang lebih baik dari seribu bulan. Tapi sejauh mana mengimplementasikan makna “lebih baik dari seribu bulan”, inilah barangkali hal yang
harus menjadi bahan kajian.
Barangkali fakta yang tak dapat dielak adalah tentang
kebiasaan atau bahkan budayai bangsa kita yang cenderung lebih bersifat “seremonial” dan “simbolis”
ketimbang dari segi kinerja dan amaliahnya. Sebagai contoh, kalau dalam hal
keagamaan lebih mengutamakan ritualnya
ketimbang mengutamakan amaliahnya, dan kalau dalam urusan kenegeraan dan
kemasyarakat lebih mengutamakan seremonialnya dan simbolisnhya ketimbang
mengutamakan kinerja dan kualitasnya.
Oleh karena itu usai Ramadhan tidak cukup hanya sampai pada pelaksanaan
solat Idul Fitri, akan tapi harus berlanjut pada implementasi dari hikmah
Ramadhan yang dibawa dari
perjuangan meni rjalankan ibadah puasa
sebulan penuh dan amalan-amalan ibadah lainya, dalam menghadapi ibulan-bulan
paska Ramadhan.
Menurut keteragan dalam tafsir Jalalain dalam Asbabun Nuzul Surat Al-Qadar, Imam Ibnu
Jarir mengetengahkan sebuah hadits melalui Mujadid yang telah menceritakan,
bahwa di kalangan orang-orang Bani Israil terdapat seorang laki-laki yang
setiap malam selalu salat hingga pagi hari, dan siang harinya selalu berjihad
melawan musuh-musuh Allah hingga sore harinya.
Hal tersebut dilakukannya selama seribu bulan terus-menerus. Maka Allah menurunkan firman-Nya : “Lailatul Qadar atau malam kemuliaan, itu lebih baik dari seribu bulan”. Maksudnya
beramal saleh pada malam Lailatul Qadar
lebih baik dan lebih besar pahalanya dari
pada amalan yang dilakukan dalam seribu
bulan oleh laki-laki dari Bani Israil itu.
Kenapa malam qodar diberi sebutan sebagai “malam yang
lebih baik dari seribu bulan”?. Selain
alasan Asbabun Nuzul, tentunya secara
logika adalah untuk memberi penekanan makna
ibadah dipandang dari sisi kedalaman
pengamalannya dan amaliahnya, yang
ditandai dengan adanya waktu-waktu tertentu yang sangat dimuliakan. Dalam hal ini malam qodar adalah waktu turunnya
wahyu yang pertama (Alqur’an) dari
Lauhil Mahfuzh lewat perantaraan Jibril di Gua Hira. Juga
malam qodar itu pun turun saat
Nabi Musa berdialog dengan Tuhan di Bukit Thursina.
Karena itu tentunya
betapa mulianya malam qodar sebagai tonggak
peringatan terhadap waktu terjadinya masalah basar yang mengatur tentang
kehidupan manusia dan tentang keyakinan terhadap hal-hal ghaib, yang sangat logis kalau malam kodar dinyatakan
sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Tapi sejauh mana
mengimplementasikan makna “lebih baik
dari seribu bulan”, inilah barangkali hal
yang harus menjadi bahan kajian.
Barangkali fakta yang tak dapat dielak adalah tentang
kebiasaan, atau bahkan budaya, dari bangsa kita yang cenderung lebih bersifat “seremonial” dan “simbolis”.
Sebagai contoh, kalau dalam hal keagamaan
lebih mengutamakan ritualnya ketimbang mengutamakan amaliahnya, dan
kalau dalam urusan kenegeraan dan kemasyarakat lebih mengutamakan seremonialnya
dan simbolisnhya ketimbang mengutamakan kinerja dan kualitasnya. Oleh karena itu usai Ramadhan tidak cukup
hanya sampai pada pelaksanaan solat Id, akan tapi harus berlanjut pada
implementasi hikmah Ramadhan yang dibawa
dari perjuangan menjalankan ibadah puasa
sebulan penuh dan amalan-amalan ibadah lainya, dalam menghadapi bulan-bulan
paska Ramadhan.
Kesan paling indah yang pasti dirasakan paska Ramadhan oleh kaum Muslimin dan Muslimat di manapun berada, yaitu : pertama,
selain adanya rasa puas karena telah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, kedua karena telah
melewati puncak-puncak malam pada 10 hari terakhir bulan suci Ramadan khusus bagi yang mentradisikan menjalankan i’ tikaf di
masjid, yang salah satu malam diantaranya mungkin saja itu adalah “malam
qodar”,insya Allah keduanya akan membawa pasan
Ramadhan sebagai bekal ruhaniah untuk menata kehidupan yang lebih baik di
bulan-bulan mendatang.
Salah satu isyarat datangnya “malam qodar” menurut keterangan beberapa sabda Rasulullah, diantaranya ialah : “beribadah di malam itu
merasakan lezatnya ibadah, adanya ketenangan hati, dan adanya kenikmatan
bermunajat kepada Allah Rabbul ‘Alamiin”. Tanda lainnya menurut HR Muslim adalah :
“bulan tatkala muncul berukuran saparuh nampan”, dan
banyak lagi tanda-tanda yang musykil lainnya.
Tanda-tanda
itu seolah-olah menunjukkan bahwa “substansi malam” punya makna yang specific, yang diyakini sebagai saat ijabah doa, yang membawa rahmat menuju
jalan keselamatan untuk kehidupan di dunia dan di akhirat, yang mendatangkan
suasana yang penuh kekhusuan untuk
meraih keridhaan Allah bagi
hamba yang dihatinya telah tertanam kuat kadar iman dan taqwa.
Malam qodar yang umumnya di sebut Lailatul Qadr itu hanya datang
di bulan Suci Ramadhan, di salah satu malam pada 10 hari terakhir Ramadhan. Namun
demikian bagi kaum Muslimin yang taat, Allah SWT membukakan pintu langit bagi
hamba-hamba-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan bermunajat, yakni melalui
qiyamul lail dan solat
tahajud di sepertiga malam terakhir pada setiap malam di luar Ramadhan. Kiranya moment dari ibadah ini dapat dimaknai sebagai
pengganti malam qodar yang datangnya hanya setahun sekali di bulan Suci
Ramadhan.
Dalam Alqur’an (QS. 2 : 186)
Allah berfirman : “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku ......” Karena itu kesan indah tentang
“malam qodar” itu mudah-mudahan dapat dimanifestasikan dalam bentuk penanaman kebiasaan bangun malam untuk
menjalankan solat tahajud, yang harus dapat dilakukan dengan
istiqomah.
Tiap Ramadhan tiba rasanya bulan itu berlalu begitu cepat
untuk segera kembali meninggalkan kita,
dan tentunya saat berlalunya bulan itu
di hati kita pun akan terucap kata “Selamat
tinggal Ramadhan” sebagai pesan kerinduan pada bulan itu, yang tahun depan bulan itu belum tentu masih akan dijumpai lagi. Karena itu hendaknya kita jadikan “puncak malam” pada bulan-bulan di luar
Ramadhan benar-benar dijadikan sebagai pengganti
“malam qodar” tempat meraih rahmat
pada sepertiga malam terakhir saat turunnya rahmat ke langit dunia hingga terbit fajar.
Kenapa malam qodar diberi sebutan simbolis”
sebagai “malam yang lebih baik dari seribu bulan”, tentunya untuk memberi
penekanan makna ibadah dipandang dari sisi kedalaman pengamalannya
dan amaliahnya. Karena itu dengan
puasa Ramadhan sebulan penuh, dan pesan yang dibawa lewat keistimewaan “lailatul qadr” hendaknya
kaum Muslimin dan Muslimat di
mana pun berada benar-benar merasa memperoleh pesan ruhaniah untuk meningkatkan perubahan mentalitas dan kinerja
dalam kehidupan amaliah kesehariannya di luar bulan suci Ramadhan. Dengan demikian terdapat keselarasan dan keseimbangan antara segi ritual ibadah dan segi amaliahnya, sebab sudah menjadi sebuah
adagium dalam kehidupan khususnya bagi kaum Muslimin dan Muslimat, bahwa sebaik-baik manusia selain taqwa, adalah bermanfaat bagi sesamanya.
Lebih jauh rujukan yang harus dipegang dalam sikap hidup
yang berkeselarasan antara lahiriah dan ruhaniah, sebagai hikmah Ramadhan
yang harus membekas dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah
firman Allah dalam Surat Al-Qashash (QS. 28) ayat 77 yang mengandung 3 pilar
utama, yaitu : 1) adanya sikap hidup yang berkeseimbangan
antara tujuan kepetingan dunia dan
tujuan kepetingan akhIrat; 2) selalu melakukan kebaikan yang disebut
”ikhsan” dan orangnya disebut
“mukhsin”; 3) tidak membuat kerusakan,
baik yang ada kaitan dengan alam lingkungan, nilai-nilai akhlak dan moral, dan
aspek-aspek kehidupan lainnya termasuk
dalam menjalankan tatanan kehidupan bangsa dan negara oleh para penguasa.
Demikian gambaran malam qodar dan hikmah Ramadhan. Semoga bermanfaat, Amiin
yaa Rabbal ‘alamiin.
Penulis, Penyusun
“Ebook Kinerja” dan “Nilai-nilai Religi” di sebuah Website, tinggal di
Kota Cimahi, Jawa Barat.
0 komentar:
Posting Komentar