PROGRAM PELATIHAN KINERJA
LANGKAH
AWAL MENUJU PENCERAHAN MENTALITAS MORAL
DAN
BUDAYA KERJA
Tema Pokok & Substansi Materi :
Aspirasi
menyambut Gerakan Revolusi Mental.
Penulis/Penggagas
:
Widjaja Kartadiredja/Letkol. Purnawirawan
▼
Tema pokok & substansi materi program ini merupakan sebuah aspirasi
dalam mendukung realisasi “Gerakan
Revolusi Mental” yang telah dicanangkan oleh Yth. Bpk. Presiden Jokowi di awal pemerintahannya.
Transkrip dari dokumen ini dikirimkan tertulis kepada Yth. Bapak MENDAGRI dan Tembusan kepada
Yth. Bapak Joko Widodo, Presiden R.I.
KATA PENGANTAR
1. Fakta yang benar-benar harus jadi bahan
renungan semua kalangan adalah bahwa bangsa Indonesia telah lebih dari 70 tahun
menjadi bangsa yang merdeka, namun kehidupan rakyat masih sangat jauh dari
hidup yang adil dan sejahtera jika dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Pertanyaan yang sangat mendasar di benak siapa
pun yang merasa masih mencintai bangsa dan negaranya adalah : “Mengapa bidang pembinaan SDM di negara kita (yang dalam bahasa asing dikenal
dengan istilah “human resources management”), adalah teramat lamban untuk dibangun, dikembangkan dan
diberdayakan?. Padahal dalam manajemen pemerintahan dan tata
kelola kenegaraan, sumberdaya manusia
merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pembangunan itu
sendiri”.
2. Melihat kenyataan ini, Penulis selaku
penggagas dan penyusun program pelatihan tentang kinerja adalah seorang Purnawirawan dalam
kapasitas sebagai warga masyarakat yang masih punya keinginan untuk mengabdi
bagi kepentingan bangsa, dengan mengabdikan sebuah “product
sistem dalam bidang Pembinaan SDM”, yang profilnya dituangkan dalam dokumen (tautan
ini), jika pemerintah berkenan menerima sistem yang ditawarkan. Product
system ini diberi judul : “Program Pelatihan Kinerja”, yang
dibuat berdasarkan hasil studi banding tentang sistem penilaian kinerja di
sebuah lembaga pelatihan, yakni di Thomson CSF Cooperation, Perancis, yang
substansi materinya mengacu pada
“prisip-prisip dasar penerapan kebijakan sistem HRM”.
3. Untuk memberikan gambaran secara lengkap tentang Program Pelatihan Kinerja tersebut mulai dari
lahirnya gagasan, disiapkannya sarana dalam bentuk program d.l.l. untuk
mewujudkannya, dapat ditelaah pada Bab-bab yang disusun dengan sistematika
penulisan sebagai berikut :
Kata Pengantar (hal. 1-2).
Bab 1. Lahirnya gagasan Program Pelatihan Kinerja (hal.2-3)
Bab 1. Lahirnya gagasan Program Pelatihan Kinerja (hal.2-3)
Bab 2. Pengertian
Istilah kinerja dan budaya kerja (hal. 3).
Bab 3. Penyiapan materi pokok Pelatihan Kinerja (hal.
3-4).
Bab 4. Gambaran kesiapan untuk pelaksanaan Pelatihan Kinerja
Bab 4. Gambaran kesiapan untuk pelaksanaan Pelatihan Kinerja
(hal.
4 )
Bab 5. Peserta
Program Pelatihan Kinerja (hal. 4)
Bab 6. Esensi
yang terkandung dalam Program Pelatihan Kinerja (hal. 4-5)
Bab 7. Skedul
Pelatihan (hal. 5)
Bab 8. Perlunya
menyikapi kondisi bangsa lewat pencerahan mentalitas
moral
dan budaya kerja (hal. 5)
Bab 9. Resume
Bahasan untuk Bahan Renungan (hal. 7-8)
Bab 10. Ajakan
peduli pada masalah Pembinaan SDM (hal. 8).
Kata Penutup (hal. 8)
BAB - I
LAHIRNYA GAGASAN
PROGRAM PELATIHAN KINERJA.
1. Berbagai fenomena
yang dialami bangsa Indonesia telah membuat kehidupan bangsa hampir tak kunjung
mengalami perubahan. Kondisi seperti
ini sudah selayaknya memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari pejabat
pemerintah terkait dengan kewajiban dan tanggung jawab pengembangan “factor manusia” kearah peningkatan kualitas
sumberdaya dan kinerjanya. Menteri Dalam
Negeri, para Gubernur, Bupati dan Walikota adalah pemegang kebijakan dan “decision
maker” dalam bidang pembinaan SDM di tingkat Pusat dan Daerah di lingkungan Kemendagri, dengan memberikan contoh keteladanan dari
Menteri terkait dan para pimpinan pemerintahan
di Daerah, dalam bentuk antusiasme terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan sikap mental dan budaya
kerja di kalangan bangsa kita. Dalam hal ini Gubernur, Bupati, dan Walikota
adalah figur Pimpinan Daerah yang harus jadi panutan dan yang diteladani. Gubernur, Bupati dan Walikota, adalah
pemegang “kebijakan dalam bidang Pembinaan SDM” yang kegiatan operasionalnya di lapangan ditangani
oleh para Manajer HRM yang ada di
setiap lini di jajaran pemerintahan.
2. Secara
kelembagaan harus diakui sebagi kenyataan bahwa
penyebab utama ketertinggalan
bangsa kita dibanding bangsa-bangsa lain yang telah maju, bisa ditenggarai dari masih kurangnya antusiasme para pemegang kebijakan mencari
solusi terhadap masalah-masalah krusial yang dihadapi dalam bidang pembinaan
SDM. Oleh karena itu akhirnya esensi
kelemahan dalam suatu lembaga adalah
kembali pada masalah factor manusianya. .
3. Melihat kenyataan
ini Penulis terinspirasi oleh pengalaman
mempelajari prinsip-prinsip dasar penerapan kebijakan sistem HRM (principles for implementing a human resources
management policy), yang dilakukan di sebuah lembaga pelatihan di Perancis
tahun 1992, yakni di Thomson CSF
Cooperation, yang hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai hasil studi banding
dalam bidang HRM, khususnya yang terkait
dengan masalah perbaikan “sistem penilaian kinerja”.
4. Penulis memperoleh
materi ini ketika Penulis masih berdinas aktif sebagai anggota TNI-AU tugas
diperbantukan di PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (sekarang PT.
Dirgantara Indonesia). Waktu itu Penulis
ditugaskan sebagai anggota tim counterpart dari perusahaan tempat penulis
bekerja, melakukan misi survey ke beberapa lembaga pendidikan dan industri
bidang “we aponry” (sistem senjata) di
Perancis, yaitu dalam rangka “finalisasi pembuatan master plan training bidang
weaponry” yang sebelumnya telah digarap bersama dalam waktu 3 bulan di Bandung
dengan tiga orang tenaga expert dari Perancis.
Ketika itulah Penulis memperoleh kesempatan mempelajari materi bidang
SDM tentang “prinsip-prinsip dasar
penerapan kebijakan sistem HRM model Thomson CSF Cooperation”.
5. Thomson CSF
Cooperation adalah sebuah lembaga pelatihan di bidang SDM di bawah perusahaan
Thomson, dimana perusahaan Thomson ini sebagai perusahaan besar di Perancis dan
tentunya juga di kawasan Eropa, yang waktu itu perusahaan ini memiliki manpower lebih dari 100.000 orang di
semua cabang perusahaannya. Sistem HRM
model Thomson CSF Cooperation ini tidak hanya digunakan di perusahaan Thomson sendiri akan tetapi digunakan di luar
Thomson, diantaranya di akses oleh Perusahaan besar yang initialnya dikenal
dengan BRGM Company, berdomisili di kota Bordeoux jarak 400 KM dari Paris, yang bergerak dalam
bidang survey geologi dan mineral yang waktu itu (tahun 1992) memiliki personil
1.000 orang engineer kimia dan geologi.
6. Sebagai contoh
sebuah pelajaran berharga, saat Penulis dibawa oleh Konsultan dari Thomson CSF
Cooperation ke BRGM Company di kota Bordeoux, yaitu untuk melihat penerapan sistem Thomson yang
diakses oleh BRGM Company, Mr. G.
Duermael / Staf Directorate of Human Resources (yang posisinya sebagai kepala
Biro Employment and Career), dalam
penjelasan tentang penerapan sistem Thomson di perusahaannya mengatakan, bahwa
telah lama BRGM Company berusaha memperbaiki system di bidang HRM terutama yang
terkait dengan “remunerisasi” (“sistem penggajian)”, namun tidak kunjung
membuahkan hasil. Tetapi setelah
menerapkan sistem Thomson, diperoleh
titik terang untuk membenahi sistem penggajian, yang waktu itu dikatakan
dengan rasa optimis bahwa sistem penggajian diharapkan akan dapat segera dituntaskan.
7. Dalam sistem HRM
Thomson CSF Cooperation, ada dua “management tool” (alat manajemen) yang sangat
penting dalam penerapan kebijakan sistem HRM,
yaitu :
a. Manajemen tool yang pertama, sasarannya adalah progress dari
“penggarapan “job description dan job evaluation” yang menghasilkan “job
requirement” untuk tiap jenis pekerjaan.
Yang dimaksud “job requirement” ialah persyaratan kemampuan untuk dapat
memangku atau menjalankan jenis pekerjaan, dimana job requirement dapat dipakai
sebagai dasar dalam menetapkan “bobot pekerjaan” (the weight of the job), yang
nantinya bobot pekerjaan ini akan
dipakai sebagai dasar dalam menetapkan kebijakan sistem penggajian. Di negara
kita golongan gaji seorang karyawan (dalam hal ini di kalangan pegawai
pemerintah) hanya didasarkan secara formal atas dasar “tingkat pendidikan” dan
tidak ada keterkaitan dengan “bobot pekerjaan”.
Di sinilah letak perbedaan yang sangat prinsip dengan system Thomson
yang diterapkan di perusahaannya.
b. Manajemen tool yang kedua, ialah “sistem penilaian kinerja” yang
dari segi pembinaan SDM berfungsi sebagai perangkat, sarana, atau alat untuk
mendorong tenaga kerja meraih prestasi yang lebih baik, karena semua aturan yang menyangkut hak dan
kewajiban tenaga kerja dalam sistem
HRM-nya berlandaskan pada “kebijakan reward system yang adil”,
baik yang terkait dengan sistem pen ggajian maupun dengan sistem pembinaan
karir. Karena itu tanpa melalui proses penggarapan “manajemen
tool yang pertama” dan proses penggarapan “manajemen tool yang kedua” adalah
mustahil bidang pembinaan SDM dapat menciptakan sistem penggajian dan sistem
pembinaan karir dengan baik, yang indikasi negatifnya dapat kita amati dalam
praktek tentang permasalahan system penggajian di Negara kita termasuk dalam
system pembinaan karir.
8. Inilah esensi yang terkandung dalam program pelatihan kinerja
untuk menanamkan pemahaman tentang wawasan atau pola pandang baru di bidang
Pembinaan SDM melalui program pelatihan singkat durasi 3 hari, dengan beberapa buku panduan yang
telah disusun dengan matang secara sistematis,
mudah difahami dan mudah diaplikasikan.
BAB - II
PENGERTIAN ISTILAH
KINERJA DAN BUDAYA KERJA.
1. Istilah “kinerja”
yang bahasa sehari-harinya mengandung
arti “hasil kerja”, adalah merupakan
proses budidaya dalam dunia kerja, atau dengan kata lain disebut “hasil budaya
kerja”, adalah sikap mental dan perilaku
dalam dunia kerja yang landasan filosofinya ditujukan pada upaya peningkatan hasil kerja dan perbaikan etika kerja, yang subjeknya dapat berupa bangsa atau institusi
- sebagai lembaga, dan aparat atau
tenaga kerja - sebagai individu.
2. Kenyataan yang tak
bisa dipungkiri, bahwa siapa pun anak bangsa atau warga negara Indonesia yang masih merasa mencintai bangsa dan
negaranya, akan merasa prihatin terhadap mentalitas dan budaya kerja yang
faktanya jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang telah maju. Maka sudah selayaknya keprihatinan ini dapat memberikan dorongan
kearah lahirnya suatu inisiatif atau prakarsa baru menuju perubahan di berbagai
aspek terkait dengan masalah pembinaan sumberdaya manusia.
3. Adalah merupakan
suatu keharusan untuk memulai membangkitkan kemauan dan kreativitas dari
kalangan anak bangsa. Titik tolaknya dimulai
dengan “membangun wawasan baru bidang pembinaan SDM”, yang diteladani lewat
respon positif dan sambutan baik pejabat pemerintah terkait berupa upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dari
mana pun datangnya prakarsa. Hendaknya
dapat dihayati secara mendalam, bahwa wawasan baru dimaksud adalah wawasan
dalam bidang pembinaan SDM yang landasan filosofinya diorientasikan pada
masalah mentalitas moral dan budaya kerja, dalam upaya meningkatkan kinerja bangsa
dan perbaikan etika kerja, yang landasannya mengacu pada kebijakan “reward
system yang adil”. Dengan wawasan ini nantinya
generasi penerus akan memiliki pewarisan
nilai-nilai dalam bidang pembinaan SDM yang merupakan kunci utama kearah
perubahan dalam pembangunan bangsa walau prosesnya harus dilakukan lewat lintas
generasi. Artinya dilakukan melalui
pewarisan nilai-nilai dari generasi ke generasi, karena pembangunan mentalitas
pada dasarnya merupakan penanaman
nilai-nilai positif menjadi sebuah
budaya yang prosesnya membutuhkan waktu relatif
dalam jangka panjang.
4. Untuk mencapai tujuan
ke arah itu maka pelaksanaan Program Pelatihan Kinerja harus dimulai sejak
sekarang, yang pelaksanaannya “mutlak
harus didukung oleh kebijakan pemerintah secara sinergis antara pemerintah
Pusat dan Daerah, mengingat luasnya wilayah garapan dalam lingkup nasional. Karena sasaran program ini juga akan menyangkut
kepentingan masa depan generasi mendatang, maka program pelatihan ini harus
melibatkan minat generasi muda sebagai calon pemimpin generasi mendatang. Sekali lagi ditegaskan oleh Penulis selaku
penggagas dan penyusun program
pelatihan, bahwa program ini ingin diabdikan bagi kepentingan bangsa jika
pemerintah mau meng-aksesnya, dalam
pengertian pelatihan tidak untuk dikomersilkan, kecuali terkait kebutuhan dana
untuk kompensasi Pengajar yang nominalnya didasarkan atas kesepakatan Pengajar
dengan instansi penyelenggara “in house training”.
BAB – III
PROSES PENYIAPAN
MATERI POKOK PELATIHAN KINERJA.
1. Penyiapan materi pokok program pelatihan
kinerja yang digagas dan disusun oleh Penulis, dimana nantinya Penulis akan
bertidak sebagai pengajar untuk penyiapan kader; proses penyiapan materi pokok pelatihan
dijelaskan sebagai berikut :
a. Telah disiapkan materi pokok pelatihan
dalam bentuk “pelatihan singkat” yang durasinya hanya 3 hari, namun pelatihan ini akan dilakukan secara
berkelanjutan karena luasnya wilayah garapan pelatihan dalam sekala
nasional.
b. Target
yang ingin dicapai dalam program pelatihan (dalam tahap 3 tahun pertama)
adalah: Pertama, menyiapkan 100-150 orang kader pelatih yang akan
diambil dari mantan peserta pelatihan terbaik untuk dijadikan “tim pengajar
yang mobile”. Kedua, target peserta dalam 3 tahun pertama l.k. 1.800 orang peserta
berasal dari karyawan di jajaran instansi pemerintahan yang tugas pokoknya
dalam bidang pembinaan SDM. Target berikutnya dalam 3 tahun kedua (jika program
ini masih diperlukan) dapat dilaksanakan oleh kader-kader yang sudah dibentuk,
hingga dalam waktu tertentu program pelatihan ini dapat diwujudkan secara
merata di setiap wialayah regional/provinsi /kabupaten/kota di bawah NKRI.
c. Di bawah
bimbingan Penulis yang akan berperan sebagai pengajar untuk
menyiapkan kader pengajar, kader
ini harus dapat mentransfer ilmu yang
didapat dalam pelatihan, lewat regional yang dibentuk di tiap
Provinsi/Kabupaten/Kota, yang pelaksanaanya harus didukung oleh kebijakan Pemerintah Daerah dengan kesediaan membuka pelatihan singkat dalam bentuk “in house
training” di instansinya sebagai realisasi dari kebijakan yang telah ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri. .
2. Materi pokok pelatihan telah dibuat secara rinci,
sistematis, mudah dipelajari dan mudah
diaplikasikan, yaitu dituangkan dalam 5 (lima) buah buku, yaitu :
1) Buku Panduan Pelatihan Bidang SDM : “Cara
Praktis Membuat Rancangan Sistem Penilaian Kinerja” (140 halaman) - untuk pegangan Peserta Pelatihan.
2) “Buku
Presentasi Pelatihan Kinerja” (120 halaman) - untuk pegangan Pengajar.
3) Untuk keperluan pemasaran pelatihan, telah
dibuat : (1) “Proposal Umum Program
Pelatihan Kinerja (40 halaman); (2) “Profil Buku Panduan Program Pelatihan Kinerja” (32 halaman). 3). “Perangkat Penilaian Kinerja” (20
halaman) – untuk pegangan Pejabat
Penilai.
BAB - IV
GAMBARAN KESIAPAN
UNTUK PENYELENGGARAAN PROGRAM PELATIHAN
KINERJA.
Gambaran kesiapan untuk penyelenggaraan
program pelatihan dijelaskan sebagai
berikut :
1. Biaya Pelatihan. Program Pelatihan akan dilaksanakan dalam
bentuk “in house training” (yaitu
pelaksanaan pelatihan atas permintaan
lembaga/instansi), dengan kapasitas kelas 15 peserta, dengan durasi
pelatihan 3 (tiga) hari. Dana yang
dibutuhkan jika program pelatihan
ditangani oleh “lembaga berdiri sendiri”
(jika tidak lewat “in house training”) yang penggunaannya untuk infrastruktur, honorarium Pengajar dan
biaya operasional untuk tahap 3 tahun pertama akan mencapai Rp. 1,45 M, dimana
sebagian besar dana digunakan untuk infrastruktur (rinciannya tertuang dalam
Naskah Proposal Umum masalah Pendanaan).
2. Dalam proposal umum
dijelaskan, dengan catatan jika kegiatan
pelatihan dilaksanakan oleh lembaga berdiri sendiri, maka biaya pelatihan
bisa mencapai Rp. 1.5 juta tiap peserta atau bahkan bisa lebih, yang akhirnya pelatihan ini bisa berubah sifatnya
menjadi komersial. Namun jika pelatihan dilaksanakan melalui “in house training” dengan
fasilitas yang dimiliki oleh lembaga/instansi, maka peserta tidak dikenakan
biaya pelatihan karena biaya penyelenggaraan pelatihan ditanggung oleh
instansi. Sementara konpensasi untuk
Pengajar, biaya tranportasi dan
akomodasi seorang Pengajar (dengan seorang pembantu pengajar), diperkirakan
sekitar Rp. 3 s/d 4,5 juta per-kelas a’ 15 peserta dalam 3
hari, ditanggung oleh instansi penyelenggara training. Biaya ini hanya sebagai perkiraan, yang masih
dimungkinkan untuk dinego.
3. Penulis yang sekaligus akan bertindak sebagai Pengajar, dapat
melaksanakan pelatihan 4 kali dalam
sebulan (dengan kapasitas kelas 15 Peserta, durasi 3 hari).
Dengan demikian dalam 1 bulan
Pengajar dapat men-train trainee sebanyak 60 orang, dan dalam 1 tahun
diperkirakan 600 orang, atau dalam tahap 3 tahun pertama 1.800 orang. Kegiatan pelatihan ini akan dilaksanakan oleh Pengajar dengan kader
pengajar yang sifatnya “mobile” yang akan disiapkan sebelumnya.
BAB – V
PERSERTA PELATIHAN
KINERJA
1. Peserta pelatihan
adalah para karyawan di jajaran Pemerintahan
yang tugasnya di bidang SDM,
diutamakan yang posisinya sebagai “direct supervisor”, atau karyawan yang diharapkan bisa atau akan
dipromosikan untuk “direct supervisor”.
Karena substansi materinya merupakan knoledge tentang wawasan baru
bidang pembinaan SDM, maka pelatihan ini bisa diikuti oleh mereka yang
posisinya di atas “direct supervisor”, yakni para manajer HRM/SDM, untuk
menambah wawasan atau digunakan untuk kepentingan pengembangan sistem yang ada di lembaganya.
2. Termasuk peserta
pelatihan adalah karyawan perusahaan BUMN.
BAB - VI
ESENSI YANG
TERKANDUNG DALAM PROGRAM PELATIHAN KINERJA.
1. Manfaat yang sangat
esensial yang akan didapatkan dalam program pelatihan ada dua, yaitu yang
bersifat
wawasan dan yang bersifat aplikatif. Yang bersifat wawasan, dibutuhkan oleh
instansi/lembaga untuk adanya bahan masukan dalam merumuskan kebijakan
-kebijakan sistem HRM dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,
yang berlandasan pada kebijakan manajemen yang harus menganut “reward system
yang adil”, yang ada keterkaitan dengan masalah “remunerasi” (penggajian) dan
pembinaan karir & pengembangan potensi tenaga kerja.
2. Yang
bersifat aplikatif, dapat dijelaskan
bahwa bagi lembaga yang belum memiliki perangkat sistem penilaian
kinerja yang baku, sistem yang dirancang dalam pelatihan dapat digunakan sebagai contoh model perangkat sistem
penilaian, sejalan dengan upaya menerapkan kebijakan sistem HRM di lembaga/instansinya dengan
lebih baik.
3. Pelatihan dilakukan seminggu sekali (dengan
durasi 3 hari, dengan kapasitas kelas 15 orang). Sebagi contoh, kalau lembaga/instansi
memiliki 6 satuan kerja (tingkat Kabupaten atau Kota), maka dalam 6
minggu akan dilatih sebanyak 6 x 15
orang = 90 orang. Mantan trainee ini
insya Allah cepat atau lambat akan membawa misi perubahan di lingkungan
regionalnya dalam bidang pembinaan sumberdaya manusia.
4. Lembaga/instansi
pengguna jasa training tidak akan banyak mengeluarkan biaya, karena pelatihan
hanya membutuhkan penyiapan fasilitas belajar berupa : ruangan belajar yang dapat menampung 15 orang
peserta, dengan fasilitas berupa white
board, sound system, alat presentasi berupa
infocus, yang tentunya fasilitas tersebut sudah dimiliki oleh instansi yang
bersangkutan. Sementara makan siang para peserta pelatihan bisa tidak disediakan
karena tiap karyawan (PNS) sudah mendapat tunjangan makan setiap hari kerja,
dimana pelatihan itu sendiri dilaksanakan pada hari kerja.
5. Biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna
jasa training untuk kompesasi pengajar adalah untuk : 1) insentif (honorarium) pengajar, 2)
transportasi p.p. pengajar dari kota tempat tinggal Pengajar ke kota tempat
pelatihan dilaksanakan, 3) akomodasi untuk Pengajar selama masa mengajar, 4)
biaya snack dan coffee break untuk peserta pelatihan, 5) penyediaan ATK dan 6)
penyiapan sertifikat. Sedangkan Buku
Panduan, hand out dan brosur lainnya disiapkan oleh Pengajar.
BAB - VII
SKEDUL DAN MATERI
PELATIHAN.
Lama pelatihan 3 (tiga) hari ‘a 5 jam, pagi hari Pk. 08.00-13.00 WIB,
atau sore hari Pk. 13.15 - 17.45 WIB.
▌ Hari pertama
Pokok Bahasan-1 (Tujuan
Pelatihan & Pengenalan
Profill Buku
Panduan), 60 menit.
Pokok Bahasan-2 (Dasar-dasar Kebijakan Implemetasi HRM), 60
menit.
Pokok Bahasan-3 (Pengenalan Sistem Penilaian
Kinerja), 75 menit.
Pembahasan Job Description (dan penetapan Job Requirement), berikut latihan cara membuatnya, 75 menit.
▌ Hari kedua
Pokok Bahasan-4
(Menetapkan Faktor-faktor penilaian
dalam membuat Rancangan Kinerja), 60 menit. Mendesain Format Penilaian, 30
menit.
Pokok Bahasan-5 (Membuat Petunjuk Cara Mengisi Format Penilaian), 90 menit.
Pokok Bahasan-6 (Cara Melaksanakan Penilaian melalui individual Interview), 60 menit.
▌ Hari ketiga
Pokok Bahasan-7
(Penggunaan Sistem Penilaian Kinerja
yang Multiguna), 30 menit.
Latihan membuat Sistem
Penilaian “job
description” & menetapkan “job requirement, 45 menit.
Pokok Bahasan-10
tukar waktu (Dokumentasi Format Penilaian hasil rancangan sistem untuk aplikasi). 30 menit.
Pokok Bahasan-8 (Peranan Manajer HRM / Manajer Personlia), 30 menit.
Pokok Bahasan-9 (Penutup Materi), 30 menit.
BAB - VIII
PERLUNYA MENYIKAPI KONDISI BANGSA LEWAT
PENCERAHAN MENTALITAS MORAL DAN BUDAYA KERJA.
1. Dipandang dari sisi
manajemen, dalam hal ini manajemen sumberdaya manusia, bangsa kita kurang
memiliki perangkat sistem dalam bidang
SDM tentang “sistem penilaian kinerja” yang dapat menjamin terukurnya hasil
penilaian kinerja, dan akuratnya data hasil penilaian, yang justru hal itu diperlukan untuk
mendorong meningkatkan motivasi tenaga kerja meraih prestasi yang lebih baik,
disamping untuk mengembangkan potensi
yang dimiliki tenaga kerja, yang harus ditunjang dengan kelengkapan data hasil penilaian
kinerja, yang prosesnya harus di-folow up secara berlanjut.
2. Gagasan yang berbentuk “Program Pelatihan Kinerja” yang durasinya hanya 3 hari dengan
peserta 15 orang, dibuat secara
sederhana, pragmatis, dan efektif dalam
penggunaan, serta sangat prospektif untuk penyebar-luasannya di
lembaga-lembaga/instansi di bawah NKRI,
tanpa akan banyak menyita biaya dalam menyelenggarakannya karena dapat dilakukan secara sinergi antara
pemerintah Pusat dan Daerah. Seperti
yang dipaparkan sebelumnya, bahwa rujukan yang digunakan adalah “hasil studi
banding sistem HRM Thomson CSF Cooperation, Perancis, tentang “implementasi
kebijakan sistem HRM” yang dilakukan oleh Penulis tahun 1992 saat Penulis
bertugas di sebuah BUMNIS (Badan Usaha Milik Negara Industri Strategi). Dengan gagasan ini nantinya dalam pelaksanaan
pelatihan Penulis akan bertindak sebagai Pengajar, terutama untuk menyiapkan kader yang sifatnya “mobile”,
untuk menyebar-luaskan materi pokok yang
dituangkan dalam 5 (lima) buah buku atau transkrip.
3. Perlu dihayati
benar-benar bahwa misi atau tugas utama
Pelatihan adalah menanamkan pemahaman wawasan baru dalam bidang pembinaan SDM,
yaitu tentang implementasi kebijakan Sistem HRM yang landasan filosofimya
diorientasikan pada upaya peningkatan
kinerja dan perbaikan etika kerja, yang pelaksanaan pelatihannya dilakukan
melalui “in house training” di wilayah-wilayah
regional dalam skala nasional (yaitu di provisi-provinsi,
Kabupaten-kabupaten dan kota, dengan
peserta pelatihan “khusus mereka yang
memegang fungsi dalam Bidang Pembinaan SDM” di instansinya, yang diutamakan posisinya sebagai “direct
supervisor”, disamping mewajibkan keikut-sertaan para Manajer SDM” sebagai
knowledge untuk pengembangan system yang
ada.
4. Sebagai seorang Purnawirawan,
Penulis/Penggagas hanya mampu menyiapkan materi pokok, tanpa ditunjang segi
pendanaan untuk memasarkan pelatihan.
Namun demikian Penulis masih punya
semangat pengabdian untuk bangsa. Karenanya
terkandung dalam pikiran Penulis bahwa program ini ingin diabdikan bagi
kepentingan bangsa, jika pemerintah berkenan menerimanya. Yang dimaksud diabdikan bagi kepentingan
bangsa, ialah pelatihan tidak untuk dikomersialisasikan, kecuali program
pelatihan dilaksanakan dalam bentuk “in house training” dimana
Penulis/Penggagas nantinya hanya akan bertindak sebagai Pengajar yang mendapat
insentive (kompensasi) dari instansi penyelenggara “in house training”.
5. Diasumsikan kompensasi untuk Penulis/Pengajar
dapat berupa : 1) honorarium mengajar berdasarkan kesepakatan yang dibuat
sebelumnya dengan penyelenggara training, 2) biaya transportasi p.p. Pengajar
dari Bandung ke kota tujuan tempat diselenggarakannya “in house training”. 3) akomodasi selama mengajar sesuai dengan
standar yang berlaku di instansinya. Biaya untuk kompensasi ini dimaksudkan
sebagai bagian dari biaya operasional pengguna jasa training selaku
penyelenggara “in house training”. Para kader pengajar yang telah disiapkan nantinya secara bertahap akan melanjutkan
pelaksanaan training di wilayah regionalnya masing-masig, atau bertindak
sebagai tim pengajar yang “mobile” di dalam dan di luar wilayah regionalnya.
Target yang harus dicapai dalam tahapan 3 tahun Pertama sekitar 1.800
peserta.
6. Untuk
memberikan gambaran lebih rinci tentang Program
Pelatihan Kinerja Recana Tahap
Tiga Tahun pertama (jika program pelatihan ini belum tuntas dalam 3 tahun), dapat dipelajari pada “Proposal Umum tentang Program Pelatihan Kinerja” tema
pokok “Membangunkan bangsa dari
ketertinggalan dalam budaya kerja”.
7. Dampak positif dari Program Pelatihan Kinerja. Sebagai catatan, dari tulisan-tulisan yang telah diedarkan oleh
Penulis/Penggagas di sebuah website
dalam sejumlah blog dan ulasan-ulasan singkat tentang Program Pelatihan
Kinerja, materi program pelatihan ini banyak dibaca oleh para pembaca publik di
website. Sebagai contoh, diantaranya blog yang berjudul “Profil Program
Pelatihan Kinerja”, dalam tempo 6 bulan
tercatat lebih dari 1.200 pembaca dalam data statistik id.scribd.com. Hanya
saja dari data tersebut belum ada yang
mau mengakses program pelatihan tersebut, karena penayangan tersebut masih
dalam bentuk info dan pengenalan materi yang substansinya masih terus disempurnakan. Disamping itu karena sistem yang ditawarkan
sifatnya baru maka tidak dengan mudah untuk direspon oleh kalangan publik.
8. Langkah yang Penulis
gulirkan lewat dokumen ini ialah Program Pelatihan Kinerja yang ditawarkan ke
instansi pemerintah, dengan harapan mendapatkan respon dari Kementerian Dalam
Negeri yang secara substansial mengemban tugas dalam bidang pembinaan SDM, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah. Mudah-mudahan penawaran ini mendapatkan
antusias dari Yth. Bapak Menteri Dalam Negeri dan respon dari mereka
yang posisinya selaku pemegang “decision maker” dalam bidang pembinaan SDM di
tingkat Pusat dan Daerah.
9. Sejalan dengan
harapan masyarakat Indonesia dalam Pemilu Nasional (Pilpres) tahun 2014 yang
lalu, di mana Pilpres tersebut telah diraih oleh Bpk. Joko Widodo yang kini
telah menjadi pimpinan nasional dalam waktu lebih dari satu tahun, semoga titik terlemah dalam
pembangunan sumberdaya manusia mendapatkan sorotan dan perhatian dari Bapak
Presiden, .sebab dalam kondisi saat ini masyarakat sudah menyadari bahwa titik
terlemah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan tatanan kenegaraan adalah terletak pada “sisi
manusianya” yang berdampak buruk pada mentalitas moral dan budaya kerja bangsa
kita.
10. Dipandang dari segi budaya kerja. Yang dimaksud dengan budaya kerja dapat
kita rumuskan sendiri dalam tema pokok bahasan, yaitu sikap mental dan perilaku
dalam dunia kerja yang landasan filosofinya ditujukan pada upaya peningkatan hasil
kerja dan perbaikan etika kerja. Subjek
pelakunya dapat berupa bangsa atau instansi sebagai
lembaga, dan aparat, pegawai negeri, atau tenaga kerja sebagai individu. Dari sudut
pandang inilah bangsa Indonesia berada jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain
yang telah maju dan bahkan lebih buruk lagi menjadi bangsa yang jatuh
tersungkur ke dalam mentalitas korup yang dapat memporandakan berbagai tatanan
yang membuat bangsa ini tetap terbelakang, miskin, dan berada jauh dalam
ketertinggalan. Hal ini bisa terjadi
sebagai akibat minimnya perhatian bangsa kita pada masalah mentalitas moral dan
budaya kerja. Karena itulah pentingnya
program pelatihan kinerja, disamping untuk pencerahan mentalitas terkait budaya
kerja, juga sebagai upaya pembekalan yang harus diwariskan kepada generasi
penerus, supaya mereka kelak memiliki kehidupan yang lebih baik dari generasi
sekarang.
11. Kita harus benar-benar menyadari, bahwa
kehidupan bangsa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh tiga konstelasi
perjalanan sejarah yang kini masih menyisakan pengaruhnya pada mentalitas pada
sebagian bangsa kita, yaitu : Pertama, periode jaman penjajahan kolonial yang
mewariskan nilai-nilai mentalitas binaan penjajah seperti budaya ”feodalisme”
yang berhadapan dengan “nilai-nilai pengabdian” di jaman revolusi phisik,
dimana kini nilai-nilai pengabdian ini
sudah nyaris sirna di kalangan bangsa kita.
Kedua, periode jaman
kemerdekaan yang berhadapan dengan isme kapitalis dan neoliberal yang
tidak membuahkan kesejahteraan bagi rakyat dalam pembangunan, malah sebaliknya
merugikan rakyat dengan tumbuh suburknya nafsu konsumerisme di kalangan
masyarakat negara miskin. Ketiga,
nasib generasi mendatang yang masih penuh tanda-tanya, karena tidak jelasnya
nilai-nilai keteladanan yang harus diwariskan dari gegerasi sekarang ke
generasi mendatang, sebagai pembekalan dari segi fugur kepemimpinan.
BAB – IX
RESUME BAHASAN UNTUK
BAHAN RENUNGAN
1. Fenomena terkait Karakter Bangsa.
Resume pembahasan tentang
kondisi bangsa terkait masalah mentalitas moral dan budaya kerja saat ini adalah
untuk bahan kajian dalam mencari solusi yang tepat dalam menyikapi kondisi bangsa dijelaskan
sebagai berikut :
Pertama, dampak
buruk yang diyakini sebagai akibat dari kelemahan mentalitas moral di kalangan
bangsa kita adalah : 1) masih
meraja-lelanya kejahatan korupsi yang
membuat rakyat bertambah miskin; 2) mewabahnya barang haram yang mengancam
kerusakan moral generasi muda dan masa depan bangsa. 3) merebaknya prostitusi
dan kejahatan seksual yang masih dalam “pembiaran” dan masalahnya masih
dijadikan ajang polemik, padahal perbuatan tersebut jelas-jelas perbuatan haram
yang dimurkai Allah; dan 4) nafsu hedonistis dan senang hidup berlebih-lebihan di tengah kehidupan rakyat yang tengah didera
kemiskinan, dan 5) tidak bermawas diri dalam kondisi bangsa yang penuh
keprihatinan.
Kedua, dampak
buruk dari segi kelemahan budaya kerja dapat dilihat dari indiksasi-indikasi
sebagai berikut : 1) makin lunturnya semangat pengabdian di kalangan bangsa
kita terutama di kalangan pegawai atau tenaga kerja, yang ditenggarai oleh
banyaknya keluhan masyarakat dalam pelayanan publik yang harus dijadikan bahan
koreksi dan mawas diri oleh semua kalangan; 2) rendahnya nilai kinerja dan sikap
yang kurang tertarik pada upaya-upaya perbaikan sistem; 3) kerja asal-asalan dan cari gampangnya; dan
4) meremehkan tanggung jawab.
Hal yang juga harus jadi bahan
mawas diri bagi kalangan tertentu, adalah bahwa bangsa ini sangat mendambakan
nilai-nilai keteladanan dari para pejabat nepara dan pemegang
kekuasaan, baik dari kalangan elit politik, pejabat lembaga dan para pimpinan
pemerintahan di pusat dan di daerah. Kata kunci untuk mengembalikan kepercayaan
dan respek masyarakat kepada wibawa pemimpin, adalah terletak pada
ciri-ciri keteladanan” pada diri
pemimpin itu sendiri atau pejabat negara yang harus jadi panutan.
2. Sebab
utama porak-porandanya mentalitas moral dan budaya kerja.
Harus disadari penyebab utama porak-porandanya
mentalitas moral di kalangan bangsa kita adalah karena makin kuatnya pengaruh
faham kapitalistisme dan neoliberal yang berbasis budaya materialistis, yang
membuat perilaku anak bangsa cenderung egois, mengutamakan kepentingan pribadi
dan golongan, mengesampingkan kepentingan umum dan mengabaikan nilai-nilai moral. Puncaknya dirasakan di “jaman globalisasi” dengan
makin maraknya mal-mal dan super market di luar pusat perkotaan, yang sesungguhnya
berdampak merugikan para pedagang pasar
tradisional, disamping dapat memicu bangkitnya nafsu konsumerisme di kalangan
masyarakat di negara miskin. Perlau
dijadikan bahan renungan bahwa dalam pidatonya 1 Juni 1945, dalam Sidang
Panitia Persiapan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia untuk menyusun Konstitusi
sebelum hari Proklamasi 17/8/1945, Bung Karno sudah memberikan peringatan untuk
menjauhi faham kapitalisme.
3.
Deskripsi Wawasan Baru bidang Pembinaan SDM.
Dari pengamatan sektoral tentang
kondisi bangsa seperti diutarakan di atas, menunjukkan betapa lemah mentalitas moral dan budaya
kerja pada sebagian kalangan bangsa kita, yang penyebab utamanya sebagai akibat
dari pengaruh faham kapitalistisme dan neoliberal yang materialistis. Sangat diharapkan manusia Indonesia punya
daya tangkal untuk memerangi kedua isme tersebut., agar dijauhkan dari karakter bangsa yang cenderung
e gois, abai pada kepentingan umum,
korup, dan senang hidup berlebih-lebihan, disamping budaya malas, tidak
produktif, dan minus keteladanan. Karena
itu fenomena yang dihadapi bangsa saat harus disikapi dengan program pembinaan yang
lebih peduli pada masalah “pencerahan mentalitas moral dan budaya kerja”. Tentunya pemahaman seperti ini adalah sejalan
dengan tujuan dari “gerakan revolusi mental” yang dicanangkan oleh Bapak
Presiden Jokowi di awal pemerintahan Jokowi-JK.
Itulah
rumusan sederhana tentang wawasan atau pola pandang baru dalam sistem HRM (sistem pembinaan SDM) dalam upaya meningkatkan
kualitas SDM dan kinerjanya. Tugas utama
mewujudkan dan menerapkan kebijakan sistem Pembinaan SDM di lapangan adalah
kewajiban para Manajer SDM di setiap lini di jajaran pemerintahan dan atau perusahaan bersama dengan para
subordinate-nya.
Sangatlah
tepat “hadirnya sebuah gagasan” dalam
bidang pembinaan SDM di saat bangsa tengah
merasa galau “mencari solusi”, disamping
adanya kekhawatiran datangnya kondisi bangsa yang lebih memprihatinkan dari
kondisi sekarang, jika bangsa masih tetap terlena dengan menina-bobokan
kelemahan mentalitas moral dan budaya
kerja”. Mari kita bangunkan bangsa dari
ketertinggalan dalam budaya kerja, melalui pencerahan mentalitas moral dan perbaikan
budaya kerja, dalam mendukung program
pemerintah merealisasikan “Gerakan Revolusi Mental”.
BAB – X
AJAKAN PEDULI PADA MASALAH PEMBINAAN SDM.
▌ Penulis
yang sekaligus sebagai penggagas Program
Pelatihan Kinerja yang dibuat sejak
tahun 2009, sangat mengharapkan respon dari para pemegang kebijakan bidang
Pembinaan SDM di tingkat Pusat dan Daerah, yakni : Yth. Bapak Menteri Dalam Negeri beserta jajaran Gubernur, Bupati, dan Walikota. Respon dapat disampaikan melalui E-mail widiakertapranata@yahoo.co.id Kontak
person Widjaja Kartadiredja.
▌ Substansi
materi Program Pelatihan Kinerja ini akan sangat menunjang program pemerintah
dalam merealisasikan “Gerakan
Revolusi Mental”, dimana pelatihan ini merupakan langkah awal dalam
membangun wawasan baru dalam bidang pembinaan SDM yang sasaran-antaranya ditujukan pada upaya pencerahan mentalitas
moral dan budaya kerja, yang landasan filosofinya diorientasikan pada upaya
peningkatan kinerja dan perbaikan etika kerja.
KATA PENUTUP.
Atas perhatian
Yth. Bapak Menteri Dalam Negeri dan Yth. para Gubernur, Bupati dan Walikota,
jika dokumen ini sempat terbaca oleh para beliau lewat penyampaian oleh para pengurus account yang
bersangkutan, Penulis/Penggagas mengucapkan
banyak terima kasih. Semoga product system bidang Pembinaan SDM ini bermanfaat bagi kepentingan bangsa. Insya Allah Tuhan akan memberikan balasan
kebaikan yang berlipat ganda kepada siapa pun yang berkiprah mengabdi untuk
bangsa. Aamiiin.
Salam hormat Penulis/Penggagas
Widjaja Kartadiredja / Letkol. Purnawirawan
Catatan : Dokumen ini adalah perbaikan dokumen yang berjudul PROFIL BUKU PANDUAN PROGRAM PELATIHAN KINERJA - DUP 4.
0 komentar:
Posting Komentar