JOKOWI,
AWALI PARADIGMA BARU
DALAM
KAMPANYE PILKADA LEWAT FIGUR KEPEMIMPINANNYA
Penulis :
Widjaja Kartadiredja/Letkol Purnawirawan
Penulis :
Widjaja Kartadiredja/Letkol Purnawirawan
Dalam menghadapi Pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Jawa Barat 2013 (Pilkada Jabar 2013) tepatnya 24 Februari 2013, penulis selaku warga masyarakat menyajikan sebuah pemikiran terkait harapan untuk suksesnya Pilkada di Jawa Barat yang oleh penduduk pribumi sering disebut Tatar Sunda atau Tanah Pasundan. Pemikiran ini pun tentunya akan bermanfaat bagi wilayah-wilayah pemilihan lainnya di bawah NKRI, dimana pemikiran ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk upaya perbaikan penyelenggaraan Pilkada di wilayahnya.
Suatu kenyataan, pada setiap pelaksanaan Pilkada
di wilayah mana pun tidak terlepas dari hadirnya ketidak-puasan di pihak
masyarakat. Hal ini terjadi
antara lain karena adanya indikasi palanggaran yang tidak bisa dibuktikan,
contohnya yang terkait dengan praktek politik uang. Pelanggaran ini bisa terus berpeluang. Alasannya, karena di satu sisi
adanya kelemahan masyarakat selaku pemegang hak pilih, terutama pada kalangan
masyarakat bawah yang kondisi sosial ekonominya sangat lemah, yang data populasinya 40%
berada di bawah garis kemiskinan. Mereka bisa dikatakan tidak paham politik dan bisa jadi mereka tidak terjamah
oleh sosialisasi Pemilukada (ataupun Pemilu Nasional) karena letak geografis
yang jauh di pelosok-pelosok pedesaan. Kondisi
seperti ini membuat mereka mudah terpengaruh oleh iming-iming, umbar janji,
atau semacam kecurangan lainnya karena adanya tekanan dari kontestan tertentu
demi memperoleh raihan suara sebanyak-banyaknya.
Dalam Pasal 2 Amandeman
Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”. Berdasarkan bunyi
pasal Undang-Undang Dasar ini, maka rakyat selaku pemegang kedaulatan yang pengejawantahannya diwujudkan dalam bentuk hak pilih atau hak suara, harusnya diberdayakan
dalam Pemilu/Pilkada, sehingga rakyat benar-benar dapat memberikan hak pilihnya atau hak suaranya dalam penyelenggraan proses demokrasi selaku pemegang
kedaulatan, dan tidak dibiarkan bersifat buta politik seperti keadaan sekarang.
Di sisi lain, terkait persaingan antar
kontestan untuk meraihan suara terbanyak, pelaksanaan Pemilu/Pilkada bisa
bertendesi kearah paradigma yang membenarkan “siapa
yang kuat biaya untuk kampanye itulah yang punya andalan untuk menang”. Paradigma
ini membawa dampak ketidak-adilan di pihak
masyarakat. Keadaan seperti ini
“harus dirubah dengan pola pandang yang lebih berlandaskan pada nilai-nilai keadilan
dan kemanusiaan” ketimbang hanya untuk raihan suara, bahwa setiap warga negara harus tulus sepenuh hati mendukung suksesnya
Pemilu/Pilkada dalam arti “dapat menghadirkan sosok pemimpin yang benar-benar memenuhi tuntutan masyarakat”, yaitu yang mampu mengadakan
perubahan pembangunan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dan nantinya dalam pemerintahan terbebas dari
munculnya kembali pemimpin yang nyata-nyata track recordnya “tidak bersih” antara lain karena terlibat atau
terindikasi kasus korupsi.
Seperti apa realisasi dari
paradigma baru dalam kampanye Pilkada dimaksud, bersyukur contoh kearah itu sudah
ada dan bisa diadopsi, yaitu dari
pengalaman yang dilakukan oleh salah satu pasangan dalam Pilkada di DKI Jakarta belum
lama ini. Seperti yang telah diketahui umum lewat
media cetak ataupun elektronik, bahwa
kemenangan pasangan Jokowi-Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dalam Pilkada tersebut
bukannya tanpa sebab, melainkan ada paradigma baru yang jadi penyebabnya.
,
Dari cerminan yang diperankan
oleh pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada tersebut, baik disaat “persaingan dalam
kampanye maupun tindakan yang dilakukan keduanya setelah dilantik sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur”, sekurang-kurangnya dapat kita lihat khusus dalam
diri Jokowi sebagai Calon Gubernur/Gubernur, ada tiga hal yang menonjol, yaitu
gambaran yang mencerminkan integritas
kepribadian, kepemimpinan, dan keterbukaan. Tanpa
memiliki tiga ciri khas
tersebut orang tidak akan percaya bahwa ia akan mampu mengadakan perubahan
pembangunan dalam periode pemerintahannya.
Untuk mengetahui secara detail sosok Jokowi dengan tiga ciri khas tersebut, kita jabarkan ketiga ciri tersebut sebagai berikut :
Dipandang
dari sudut kepribadian, walau hanya dengan pengamatan dalam
tempo yang relatif
singkat, Jokowi sudah bisa
dipersonifikasi sebagai pemimpin
sederhana yang mumpuni. Maksudnya,
Jokowi punya sifat sederhana, lembut hati, tidak arogan, dan lebih mengutamakan
kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi, serta lebih prioritaskan
kewajiban dari pada hak. Dan
tentunya yang paling dibanggakan
terutama oleh warga Jakarta, ia punya kepedulian pada kalangan masyarakat bawah
yang jarang terdapat pada pemimpin lain pada umumnya.
Dari segi
figur kepemimpinan, tampak jelas Jokowi menerapkan kepemimpinan tanpa menonjolkan
kekuatan “wewenang” namun
lebih mengandalkan kekuatan “wibawa” atau “daya pengaruh”. Karenanya perilaku kepemimpinan beliau
lebih condong pada penggunaan “internal power” ketimbang penggunaan “external
power”. Internal power adalah kekuatan yang bersumber dari dalam dirinya,
diantaranya berupa kepribadian yang membuat dirinya disukai, disenangi, dan
dipatuhi oleh pihak bawahan atau pun oleh para pengikutnya. Sedangkan “external
power” adalah wewenang atau legalitas formal yang diberikan organisasi untuk
menjalankan kepemimpinan. Dengan
demikian dapat dideskripsikan bahwa hakekat
kepemimpinan adalah daya pengaruh dan bukan wewenang atau kekuasaan belaka. Inilah barangkali yang secara terori disebut sebagai seni kerhasilan dalam
memimpin.
Tentang keterbukaan,
atau lebih tepat disebut keterbukaan manajemen, bisa diartikan
berupa kemampuan untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dalam pembangunan dan
sebaliknya kesediaan birokrasi untuk berkomunikasi dua arah dengan masyarakat.
Untuk bahan koreksi, bahwa di kebanyakan
institusi/lembaga di kalangan pemerintahan pada umumnya, mungkin benar
komentar orang, kondisi selama ini menunjukkan betapa sulitnya orang menembus
birokrasi. Inilah sebuah
kelemahan manajemen di institusi/lembaga
tersebut yang akhirnya secara lembaga hal itu manjadi tanggung jawab pucuk
pimpinan selaku pembuat kebijakan. ∏
Penulis Widjaja Kartadiredja, Penyusun Ebook Kinerja di blogspot www.widiakaertapranata.com, tinggal di Kota Cimahi, Jawa Barat, Indonesia.
Penulis Widjaja Kartadiredja, Penyusun Ebook Kinerja di blogspot www.widiakaertapranata.com, tinggal di Kota Cimahi, Jawa Barat, Indonesia.
Catatan : Tulisan ini walau haya berupa buah pikiran dari seorang warga masyarakat, seyogianya dapat dibaca secara luas oleh kalangan publik, baik dalam hal keterkaitan dengan Pemilukada di tingkat Provinsi atau pun di tingkat Kabupaten dan Kota, di wilayah pemilihan mana saja di bawah NKRI.***