Senin, 31 Desember 2012

JOKOWI, AWALI PARADIGMA BARU DALAM KAMPANYE PILKADA LEWAT FIGUR KEPEMIMPINANN




Deskripsi kepemimpinan dan hasil analisis penerapannya dalam proses penyelenggaraan Pilkada (1) :    

JOKOWI, AWALI PARADIGMA BARU

DALAM KAMPANYE PILKADA LEWAT FIGUR KEPEMIMPINANNYA

Penulis : 
Widjaja Kartadiredja/Letkol Purnawirawan           
Sumber :  Berdasarkan pengamatan dalam pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta September 2012. 

Dalam menghadapi Pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Jawa Barat 2013 (Pilkada Jabar 2013) tepatnya 24 Februari 2013, penulis selaku warga masyarakat menyajikan sebuah pemikiran terkait harapan  untuk suksesnya Pilkada di Jawa Barat yang oleh penduduk pribumi   sering disebut  Tatar Sunda atau Tanah Pasundan.  Pemikiran ini pun tentunya akan bermanfaat bagi wilayah-wilayah pemilihan lainnya di bawah NKRI, dimana pemikiran ini  dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk upaya perbaikan penyelenggaraan Pilkada di wilayahnya.   

Suatu kenyataan,  pada setiap pelaksanaan Pilkada di wilayah mana pun tidak terlepas dari hadirnya ketidak-puasan di pihak masyarakat.  Hal ini terjadi antara lain karena adanya indikasi palanggaran yang tidak bisa dibuktikan, contohnya yang terkait dengan praktek politik uang.  Pelanggaran ini bisa terus berpeluang.  Alasannya, karena di satu sisi adanya kelemahan masyarakat selaku pemegang hak pilih, terutama pada kalangan masyarakat bawah yang kondisi sosial ekonominya sangat  lemah, yang data populasinya 40% berada di bawah garis kemiskinan. Mereka bisa dikatakan tidak paham politik dan bisa jadi mereka tidak terjamah oleh sosialisasi Pemilukada (ataupun Pemilu Nasional) karena letak geografis yang jauh di pelosok-pelosok pedesaan.  Kondisi seperti ini membuat mereka mudah terpengaruh oleh iming-iming, umbar janji, atau semacam kecurangan lainnya karena adanya tekanan dari kontestan tertentu demi memperoleh raihan suara sebanyak-banyaknya.

Dalam Pasal 2 Amandeman Undang-Undang Dasar 1945  disebutkan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.  Berdasarkan bunyi pasal Undang-Undang Dasar ini, maka rakyat selaku pemegang kedaulatan yang pengejawantahannya diwujudkan dalam bentuk hak pilih atau hak suara, harusnya diberdayakan dalam Pemilu/Pilkada, sehingga rakyat benar-benar dapat memberikan hak pilihnya atau hak suaranya dalam penyelenggraan proses demokrasi selaku pemegang kedaulatan, dan tidak dibiarkan bersifat buta politik seperti keadaan sekarang.

Di  sisi lain, terkait persaingan antar kontestan untuk meraihan suara terbanyak, pelaksanaan Pemilu/Pilkada bisa bertendesi kearah paradigma yang membenarkan “siapa yang kuat biaya  untuk kampanye itulah yang punya andalan untuk menang”. Paradigma ini membawa dampak ketidak-adilan di pihak  masyarakat.  Keadaan seperti ini  “harus dirubah dengan pola pandang yang  lebih berlandaskan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan” ketimbang hanya untuk raihan suara, bahwa setiap warga negara harus tulus sepenuh hati mendukung suksesnya Pemilu/Pilkada dalam arti “dapat menghadirkan sosok pemimpin yang benar-benar memenuhi tuntutan masyarakat”, yaitu yang mampu mengadakan perubahan pembangunan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dan nantinya dalam pemerintahan terbebas dari munculnya kembali pemimpin yang nyata-nyata track recordnya “tidak bersih”  antara lain karena terlibat atau terindikasi kasus korupsi.      

Seperti apa realisasi dari paradigma baru dalam kampanye Pilkada dimaksud, bersyukur contoh kearah itu sudah ada dan bisa diadopsi, yaitu  dari pengalaman yang dilakukan oleh salah satu pasangan dalam  Pilkada di DKI Jakarta belum lama ini.  Seperti  yang telah diketahui umum lewat media cetak ataupun elektronik,  bahwa kemenangan pasangan Jokowi-Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dalam Pilkada tersebut bukannya tanpa sebab, melainkan ada paradigma baru yang jadi penyebabnya. 
Dari cerminan yang diperankan oleh pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada tersebut, baik disaat “persaingan dalam kampanye maupun tindakan yang dilakukan keduanya setelah dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur”, sekurang-kurangnya dapat kita lihat khusus dalam diri Jokowi sebagai Calon Gubernur/Gubernur, ada tiga hal yang menonjol, yaitu gambaran yang mencerminkan integritas kepribadian, kepemimpinan, dan keterbukaan. Tanpa memiliki tiga ciri  khas tersebut orang tidak akan percaya bahwa ia akan mampu mengadakan perubahan pembangunan dalam periode pemerintahannya.

Untuk mengetahui secara detail sosok Jokowi dengan tiga ciri khas tersebut, kita jabarkan ketiga ciri tersebut sebagai berikut :

Dipandang dari sudut kepribadian, walau hanya dengan pengamatan dalam tempo  yang relatif singkat,  Jokowi sudah bisa dipersonifikasi sebagai pemimpin sederhana yang mumpuni.  Maksudnya, Jokowi punya sifat sederhana, lembut hati, tidak  arogan, dan lebih mengutamakan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi, serta lebih prioritaskan kewajiban dari pada hak.  Dan tentunya yang paling  dibanggakan terutama oleh warga Jakarta, ia punya kepedulian pada kalangan masyarakat bawah yang jarang terdapat pada pemimpin lain pada umumnya.  

Dari segi figur kepemimpinan, tampak jelas Jokowi menerapkan kepemimpinan tanpa menonjolkan kekuatan “wewenang”  namun lebih mengandalkan kekuatan “wibawa” atau “daya pengaruh”.  Karenanya perilaku kepemimpinan beliau lebih condong pada penggunaan “internal power” ketimbang penggunaan “external power”. Internal power adalah kekuatan yang bersumber dari dalam dirinya, diantaranya berupa kepribadian yang membuat dirinya disukai, disenangi, dan dipatuhi oleh pihak bawahan atau pun oleh para pengikutnya. Sedangkan “external power” adalah wewenang atau legalitas formal yang diberikan organisasi untuk menjalankan kepemimpinan.  Dengan demikian dapat dideskripsikan bahwa hakekat kepemimpinan adalah daya pengaruh dan bukan wewenang atau kekuasaan  belaka.   Inilah barangkali yang secara terori disebut sebagai seni kerhasilan dalam memimpin.

Tentang keterbukaan, atau lebih tepat disebut keterbukaan manajemen bisa diartikan berupa kemampuan untuk mengakomodir aspirasi masyarakat dalam pembangunan dan sebaliknya kesediaan birokrasi untuk berkomunikasi dua arah dengan masyarakat. Untuk bahan koreksi, bahwa di kebanyakan  institusi/lembaga di kalangan pemerintahan pada umumnya, mungkin benar komentar orang, kondisi selama ini menunjukkan betapa sulitnya orang menembus birokrasi.  Inilah sebuah kelemahan manajemen di institusi/lembaga  tersebut yang akhirnya secara lembaga hal itu manjadi tanggung jawab pucuk pimpinan selaku pembuat kebijakan. ∏

Penulis Widjaja Kartadiredja, Penyusun Ebook Kinerja di blogspot www.widiakaertapranata.com, tinggal di Kota Cimahi, Jawa Barat, Indonesia.

Catatan  Tulisan ini walau haya berupa buah pikiran dari seorang warga masyarakat, seyogianya dapat dibaca secara luas oleh kalangan publik, baik dalam hal keterkaitan dengan Pemilukada di tingkat Provinsi atau pun di tingkat Kabupaten dan Kota, di wilayah pemilihan mana saja di bawah NKRI.***   

Continue Reading...
 

www.widiakertapranata.com Copyright © 2009 Girlymagz is Designed by Bie Girl Vector by Ipietoon