JOKOWI, AWALI PARADIGMA BARU
Penulis :
Widjaja Kartadiredja/Letkol Purnawirawan
Sumber : Berdasarkan pengamatan dalam
pelaksanaan Pilgub DKI Jakarta September 2012.
Dalam menghadapi Pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Jawa Barat 2013 (Pilkada Jabar 2013) tepatnya 24 Februari 2013, penulis selaku warga masyarakat menyajikan sebuah pemikiran terkait harapan untuk suksesnya Pilkada di Jawa Barat yang oleh penduduk pribumi sering disebut Tatar Sunda atau Tanah Pasundan. Pemikiran ini pun tentunya akan bermanfaat bagi wilayah-wilayah pemilihan lainnya di bawah NKRI, dimana pemikiran ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk upaya perbaikan penyelenggaraan Pilkada di wilayahnya.
Suatu
kenyataan, pada setiap pelaksanaan Pilkada di wilayah mana pun tidak
terlepas dari hadirnya ketidak-puasan di pihak masyarakat. Hal ini
terjadi antara lain karena adanya indikasi palanggaran yang tidak bisa
dibuktikan, contohnya yang terkait dengan praktek politik
uang. Pelanggaran ini bisa terus berpeluang. Alasannya,
karena di satu sisi adanya kelemahan masyarakat selaku pemegang hak pilih,
terutama pada kalangan masyarakat bawah yang kondisi sosial ekonominya
sangat lemah, yang data populasinya 40% berada di bawah garis
kemiskinan. Mereka bisa dikatakan tidak paham politik dan bisa jadi mereka
tidak terjamah oleh sosialisasi Pemilukada (ataupun Pemilu Nasional) karena
letak geografis yang jauh di pelosok-pelosok pedesaan. Kondisi
seperti ini membuat mereka mudah terpengaruh oleh iming-iming, umbar janji,
atau semacam kecurangan lainnya karena adanya tekanan dari kontestan tertentu
demi memperoleh raihan suara sebanyak-banyaknya.
Dalam
Pasal 2 Amandeman Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan
bahwa “kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Berdasarkan
bunyi pasal Undang-Undang Dasar ini, maka rakyat selaku pemegang kedaulatan
yang pengejawantahannya diwujudkan dalam bentuk hak pilih atau hak suara,
harusnya diberdayakan dalam Pemilu/Pilkada, sehingga rakyat benar-benar dapat
memberikan hak pilihnya atau hak suaranya dalam penyelenggraan proses demokrasi
selaku pemegang kedaulatan, dan tidak dibiarkan bersifat buta politik seperti
keadaan sekarang.
Di sisi
lain, terkait persaingan antar kontestan untuk meraihan suara terbanyak,
pelaksanaan Pemilu/Pilkada bisa bertendesi kearah paradigma yang
membenarkan “siapa yang kuat biaya untuk kampanye itulah yang
punya andalan untuk menang”. Paradigma ini membawa dampak ketidak-adilan
di pihak masyarakat. Keadaan seperti ini “harus
dirubah dengan pola pandang yang lebih berlandaskan pada nilai-nilai
keadilan dan kemanusiaan” ketimbang hanya untuk raihan suara, bahwa setiap
warga negara harus tulus sepenuh hati mendukung suksesnya Pemilu/Pilkada dalam
arti “dapat menghadirkan sosok
pemimpin yang benar-benar memenuhi tuntutan masyarakat”, yaitu yang
mampu mengadakan perubahan pembangunan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat,
dan nantinya dalam pemerintahan terbebas dari munculnya kembali pemimpin yang
nyata-nyata track recordnya “tidak bersih” antara lain karena
terlibat atau terindikasi kasus korupsi.
Seperti
apa realisasi dari paradigma baru dalam kampanye Pilkada dimaksud, bersyukur
contoh kearah itu sudah ada dan bisa diadopsi, yaitu dari pengalaman
yang dilakukan oleh salah satu pasangan dalam Pilkada di DKI Jakarta
belum lama ini. Seperti yang telah diketahui umum lewat
media cetak ataupun elektronik, bahwa kemenangan pasangan
Jokowi-Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dalam Pilkada tersebut bukannya tanpa
sebab, melainkan ada paradigma baru yang jadi penyebabnya.
,
Dari
cerminan yang diperankan oleh pasangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada tersebut, baik
disaat “persaingan dalam kampanye maupun tindakan yang dilakukan keduanya
setelah dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur”, sekurang-kurangnya dapat
kita lihat khusus dalam diri Jokowi sebagai Calon Gubernur/Gubernur, ada tiga
hal yang menonjol, yaitu gambaran yang mencerminkan integritas
kepribadian, kepemimpinan, dan keterbukaan. Tanpa memiliki tiga
ciri khas tersebut orang tidak akan percaya bahwa ia akan mampu
mengadakan perubahan pembangunan dalam periode pemerintahannya.
Untuk
mengetahui secara detail sosok Jokowi dengan tiga ciri khas tersebut, kita jabarkan
ketiga ciri tersebut sebagai berikut :
Dipandang dari sudut kepribadian, walau hanya dengan
pengamatan dalam tempo yang relatif singkat, Jokowi sudah
bisa dipersonifikasi sebagai pemimpin sederhana yang mumpuni. Maksudnya,
Jokowi punya sifat sederhana, lembut hati, tidak arogan, dan lebih
mengutamakan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi, serta lebih
prioritaskan kewajiban dari pada hak. Dan tentunya yang
paling dibanggakan terutama oleh warga Jakarta, ia punya kepedulian
pada kalangan masyarakat bawah yang jarang terdapat pada pemimpin lain pada
umumnya.
Dari segi figur kepemimpinan, tampak jelas Jokowi
menerapkan kepemimpinan tanpa menonjolkan kekuatan “wewenang” namun
lebih mengandalkan kekuatan “wibawa” atau “daya pengaruh”. Karenanya
perilaku kepemimpinan beliau lebih condong pada penggunaan “internal power”
ketimbang penggunaan “external power”. Internal power adalah kekuatan yang
bersumber dari dalam dirinya, diantaranya berupa kepribadian yang membuat
dirinya disukai, disenangi, dan dipatuhi oleh pihak bawahan atau pun oleh para
pengikutnya. Sedangkan “external power” adalah wewenang atau legalitas formal
yang diberikan organisasi untuk menjalankan kepemimpinan. Dengan
demikian dapat dideskripsikan bahwa hakekat kepemimpinan adalah daya
pengaruh dan bukan wewenang atau kekuasaan belaka. Inilah
barangkali yang secara terori disebut sebagai seni kerhasilan dalam memimpin.
Tentang keterbukaan, atau lebih tepat disebut keterbukaan
manajemen, bisa diartikan berupa kemampuan untuk mengakomodir aspirasi
masyarakat dalam pembangunan dan sebaliknya kesediaan birokrasi untuk
berkomunikasi dua arah dengan masyarakat. Untuk bahan koreksi, bahwa di
kebanyakan institusi/lembaga
di kalangan pemerintahan pada umumnya, mungkin benar komentar orang, kondisi
selama ini menunjukkan betapa
sulitnya orang menembus birokrasi. Inilah sebuah kelemahan
manajemen di institusi/lembaga tersebut
yang akhirnya secara lembaga hal itu manjadi tanggung jawab pucuk pimpinan
selaku pembuat kebijakan. ∏
Penulis Widjaja Kartadiredja, Penyusun Ebook Kinerja di blogspot www.widiakaertapranata.com, tinggal di Kota Cimahi, Jawa Barat, Indonesia.
Catatan : Tulisan
ini walau haya berupa buah pikiran dari seorang warga masyarakat, seyogianya
dapat dibaca secara luas oleh kalangan publik, baik dalam hal keterkaitan
dengan Pemilukada di tingkat Provinsi atau pun di tingkat Kabupaten dan Kota,
di wilayah pemilihan mana saja di bawah NKRI.***
0 komentar:
Posting Komentar